Unconditional Love
23:00
Ego dalam diri pernah bilang "cinta itu harus memiliki". Kata-kata semacam itu terpatri dibenakku sejak aku mengenal yang namanya cinta monyet. Melakukan hal-hal konyol untuk mendapatkan "cinta".
Sebetulnya aku sendiri (bisa dibilang) tidak percaya cinta. Kata kerja itu tidak pernah benar-benar terasa nyata di kehidupanku. Aku ingat, waktu itu aku pernah berucap "cinta itu omong kosong. Hanya ada suka dan sayang. Sudah. Tidak ada tingkatan yang lebih tinggi dari sayang."
Para remaja yang baru belajar memiliki kekasih pun punya pendapat, "cinta itu tanpa alasan." Tapi saat ditanya "kenapa?", Mereka berlomba-lomba menyombongkan alasan mereka memilih kekasih hati masing-masing.
"Kekasihku tampan."
"Oh, dia pandai."
Bukankah itu juga termasuk alasan?
"Kekasihku tampan."
"Oh, dia pandai."
Bukankah itu juga termasuk alasan?
Kedekatanku pada seseorang akhirnya membuatku sadar. Cinta itu ada dan membutuhkan proses. Tidak muncul begitu saja dalam hitungan detik seperti cinta pada pandangan pertama di serial drama picisan. Aku sempat mengelak, membangun tembok diantara aku dan dia. Tapi terlambat. Aku jatuh cinta.
"Kenapa?"
Seketika aku terdiam saat salah seorang sahabatku menanyakan kenapa aku jatuh cinta. Tenggorokanku serasa tercekat, tidak bisa mengucap sepatah kata pun. Sampai saat ini pun aku tidak dapat menemukan jawabannya.
"Kenapa?"
Seketika aku terdiam saat salah seorang sahabatku menanyakan kenapa aku jatuh cinta. Tenggorokanku serasa tercekat, tidak bisa mengucap sepatah kata pun. Sampai saat ini pun aku tidak dapat menemukan jawabannya.
Dewi fortuna berpihak padaku. Ya, cintaku tidak bertepuk sebelah tangan. Aku diajak melayang tinggi dan kemudian dihempaskan kembali ke bumi oleh sang Cupid.
"Aku dan kamu itu beda"
Pernyataan yang terlontar dari bibirnya seakan menamparku. Memaksaku bangun dari kenyataan. Aku dan dia tidak akan pernah menjadi kita.
"Aku dan kamu itu beda"
Pernyataan yang terlontar dari bibirnya seakan menamparku. Memaksaku bangun dari kenyataan. Aku dan dia tidak akan pernah menjadi kita.
Dia lebih buruk dari narkotika dan zat-zat adiktif lainnya. Begitu candu. Besar keinginan untuk berhenti tapi kenyataannya keinginan untuk bertahan jauh lebih besar dari itu. Seperti para pemakai narkotika yang dijerat tanpa ampun oleh zat-zat terlarang tersebut.
Dia membuatku memahami apa artinya cinta. Cinta yang semakin lama semakin besar dan aku tidak tau kapan harus berhenti disaat dirinya sendiri memutuskan untuk menghapus perasaannya padaku. Menyakitkan? Sedikit. Tapi aku bahagia. Ya, mencintainya membuatku bahagia. Sampai detik ini pun aku tersenyum simpul, melupakan kenyataan bahwa perlahan dia menjauh dan membiarkan dia berlari di pikiranku.
Mungkin aku hanya bisa menunggu. Menunggu dia menjadi kebahagiaan sejatiku. Atau menunggu dia menemukan kebahagiaan sejatinya.
catatan kecil dariku.
yang masih memiliki rasa itu.
0 Comments