.

Cul-de-Sac

10:50

Hari ini, tepat 3 bulan kita tidak saling menatap.
Dan tepat 2 minggu kamu menghilang. Senyap.
*
"Aku serius padamu, sungguh" ucapmu meyakinkanku. "Aku akan menemui orangtuamu untuk membuktikan ucapanku."
Sore itu kau benar-benar datang dan disambut baik oleh kedua orang tuaku. Perlahan, aku percaya. Kamulah tempatku bermuara.
*
"Aku dikotamu" pesanmu di Sabtu sore itu mengejutkanku. Tapi malam itu, kau milik teman-temanmu.
Keesokan harinya aku sengaja bangun lebih pagi, sebuah rekor seorang aku memilih untuk mandi pagi di akhir pekan. Menunggumu mengirimkan pesan, "aku sudah didepan rumahmu"
Membayangkannya saja sudah cukup membuat diriku bahagia. Akhirnya rindu ini terbayarkan, pikirku. Mentari pagi berlalu, digantikan awan yang perlahan kelabu. Ku cek sekali lagi layar ponselku, berharap dering notifikasiku mati dan membuatku tak mendengar pesan darimu.
Nihil.
Hujan mulai turun.
"Aku izin pulang ya?" Pesanmu.
Aku terdiam. Tidak ada kata maaf darimu karena ku lagi-lagi harus menyimpan rindu. "Kamu rindu aku?" Balasku.
"Aku lelah. Jangan mencari masalah." Jawabmu. 
*
Aku suka memasak. Tak jarang aku memperlihatkan hasil masakanku padamu. Tapi kau mengabaikan. Terkadang mencibir.
*
Aku bahagia saat kamu memutuskan untuk post foto kita di akun jejaring sosialmu. Ketetapan hati. tulismu di caption. Tapi tak berlangsung lama, karena beberapa bulan kemudian, kamu menurunkannya. "Aku perlu foto yang lebih bagus lagi", elakmu.
*
"Aku ditempat kawanku" pesanmu malam itu setelah 2 hari tanpa kabar.
"Dikotaku?" Balasku sambil menghela nafas.
"Kawanku sedang ada masalah. Aku baru berangkat sore ini."
Perlu waktu untukku memikirkan apakah hal ini perlu didebatkan. Aku menarik nafas panjang, memutuskan untuk mengalah. Bukan waktu yang tepat untuk berdebat, pikirku.

Kubiarkan kamu menyelesaikan masalah temanmu. Aku jadi ingat, tahun baru di tahun ini aku berhari-hari terbaring dirumah sakit. Tanpa ada seorangpun yang menemaniku. Orang tuaku hanya datang sesekali. Aku membutuhkanmu saat itu. Tapi kau tak ada. Tak berniat untuk ada.
Aku mulai berpikir, apa mungkin aku bukan lagi prioritas?
*
Hari ini, tepat 3 bulan kita tidak saling menatap dan tepat 2 minggu kamu menghilang. Perlu pemikiran panjang sampai akhirnya aku memutuskan untuk mengetik pesan ini.

"Halo, ini rekor loh 2 minggu kamu nggak ada kontak aku. Lagi ada masalah? Kamu bisa bilang. Kalau kamu mau kita berhenti, kamu juga bisa bilang. Jangan diam dan menghilang. Bicara. Jelaskan."

Kubaca berkali-kali, mengoreksi kata demi kata. Semoga pemilihan kata ini sudah tepat. Kutekan tombol kirim, sambil mengucap do'a. Semoga bukan kabar buruk yang aku terima.
7 menit kemudian, pesanmu muncul. Dua kali. Aku menarik nafas dan lagi-lagi aku berdo'a sebelum mengetuk notifikasi pesanmu.

"Aku sudah tidak bisa lagi."
"Ada hal lain yang harus aku kejar." 

Tidak ada sedikitpun kata maaf darimu.
3 menit aku berusaha mengumpulkan semua kemungkinan yang ada. Sambil menunggu pesanmu berikutnya. Tidak ada. Kau enggan memberikan penjelasan. Sesak. Sulit sekali untuk bernafas. Pikiranku terpental ke semua hal tentangmu.
Masih sesak.

7 tahun mengenalmu ternyata tidak cukup untukku tahu bahwa kau belum cukup dewasa untuk tidak lari dari masalah. Percayalah, penjelasan di awal lebih baik daripada menghilang dan muncul ketika sudah berkali-kali dicari. Aku sudah besar. Aku sudah dewasa. Aku bukan lagi anak kecil yg tidak bisa diberi penjelasan. Haruskah aku meminta penjelasan sedangkan kamu enggan untuk mengutarakan?

"Okay then. Be more mature next time ya. Bye." tutupku.

Tidak ada lagi pesan darinya.

*
Kisah kita telah usai.

.

140km

01:05

Halo kamu,
Ini masih tentangmu.
*
Notifikasi pesan siang itu membuatku perlu melihat ke sudut kanan bawah laptopku dua kali. Iya dua kali. Untuk memastikan apa yang aku lihat. tidak, aku tidak salah lihat.

"kerjaa" pesanmu.
"nanti malam telp-an yuk?" pesanmu lagi.

Tarik napas, buang.
Ku kontrol emosiku supaya tidak terlalu terlihat bahwa jantungku sudah meletup seperti popcorn. 
*
Punggung yang aku kenal terlihat begitu aku memasuki coffee shop pilihanku.
Tarik napas, buang.
Ah, kali ini jantungku tidak mau diajak kompromi. Detaknya semakin cepat hingga kutepuk punggung itu.

"hai", sapaku.
It's been years. Dua gelas cokelat mengantarkan kita kedalam percakapan serius di Kopilot, bukan lagi tentang Pilot Barbar apalagi Pilot Baper. Sadarkah kalau hari itu pertama kalinya kita bicara serius?
Tumpah. Campur aduk. That was the first time when I see you in the eyes and your eyes talk.
*
Semesta berada di pihak kita kali ini. Dari 600km ke 140km.

.

Fiksi

00:23

Hai kamu, aku mau mencurahkan apa yang selama ini mengisi benakku. Boleh?
Kurasa ini tidak akan asing bagimu. Karena ini semua tentang kamu.
*
Kamu ingat saat pertama kali kamu menyapaku sekitar 4 tahun lalu?
Sungguh, aku tak menyangka sapaan itu akan berlanjut ke percakapan-percakapan berikutnya.
Kamu tahu saat itu aku bukan perempuan yang mudah akrab dengan orang asing, bukan?
Kamu ingat pertemuan pertama kita setelah kita resmi menjadi teman? disudut restoran cepat saji itu, aku masih ingat betul dimana kamu duduk. Menatap kosong ke jalanan dibawahmu.
"Hei" sapaku. Kamu tersenyum kecil.
Kita larut dalam percakapan seru. Tentang kekonyolan yang terjadi saat kamu mencoba merantau ditempatku merantau dulu. Hanya beberapa hari, memang. Tapi cukup membuatmu menghubungiku semalaman, hanya untuk bertanya dimana kamu bisa makan dan menginap malam itu. Dan ternyata penginapan yang kamu temui tidak cukup baik. Banyak 'tikus' berpesta dan membuatmu jauh dari Tuhan, katamu.
Sampai saat ini, jika aku ke restoran cepat saji itu, atau hanya lewat didepannya, aku menyempatkan diri untuk melihat ketempat dudukmu saat itu. Tanpa terasa bibirku menyunggingkan senyum.
*
Kamu ingat dengan kejutan berbungkus kertas bergambar superhero?
"jarang-jarang loh aku diberi kejutan. Terima kasih ya" ucapmu bahagia. Syukurlah jika hadiah kecilku bisa membuat hari spesialmu menyenangkan.
*
Kini 600 km memisahkan. Aku berterima kasih pada teknologi yang membuat jarak bukan lagi masalah besar. Aku tak keberatan meluangkan malamku untuk sekedar 'absen' disudut kanan layar komputermu.
Menunggu kau sapa. Haha ya, kadang aku menunggu.
Panggilan dengan video pun berdering, ada kamu dengan senyuman tipismu. Tak banyak bicara, memang. Hanya pesan-pesan singkat yang kadang tak berbobot tapi cukup membuatmu tertawa kecil. Atau sekedar berbagi lagu-lagu yang saat itu sedang kau sukai. Kurasa aku bisa tidur nyenyak malam itu.
*
"Kutunggu kamu di kota ku" pesan singkatmu kala itu. Aku menunggu sampai akhirnya waktu berpihak padaku. Jumat siang itu, pertama kalinya aku menginjakan kaki dikotamu. Sendirian.
*
Kau ingat saat sore itu aku tak bisa menahan diri menunggumu bangun tidur untuk menemaniku menjelajah kotamu?
"ini bukan tempat yang aman. Seharusnya kau menunggu." Ujarmu saat menemukanku sedang berbicara dengan orang asing. Maaf jika aku membuatmu cemas.
*
Kau berjanji akan mengantarkanku kemanapun ku mau. Ketempat-tempat yang belum pernah kamu kunjungi selama kamu tinggal dikota ini. Aku merasa dimanjakan karena aku tak mendengar sedikitpun keluhanmu saat aku memperlihatkan daftar tempat yang ingin kutuju. Bahkan kita mengunjungi jauh lebih banyak tempat dari yang aku perkirakan.
*
Kamu ingat saat kamu bergabung dengan sekumpulan anak kecil yang sedang bermain bola? entah sengaja atau tidak, bola itu kau tendang hingga melambung tinggi melewati pagar. Membuat mereka kewalahan untuk mengambil bola mereka. Aku masih ingat pembicaraan konyol kita tentang kera, Dragon Ball, tentang orang-orang yang kelelahan saat outbond, tentang banyak hal yang membuat kita terpingkal.
*
"Ini, kamu pasti lapar" ucapmu sambil menyerahkan sekantung roti saat aku ingin pulang.
Aku mengamatimu dalam diam. Banyak waktu yang terasa singkat jika kuhabiskan denganmu hingga terasa berat untuk kembali pulang.
*
Kotak besar hadiah darimu tiba-tiba ada dimeja kerjaku.
Kau tau, hadiah itu cukup membuat teman-teman sekantorku gempar karena mereka pikir aku punya pemuja rahasia. Itu cukup membuat wajahku seperti kepiting rebus.
"Untukmu karena kamu datang ke Kotaku disaat yang tepat. Untukmu karena kamu membuatku akhirnya bisa kembali tertawa lepas"
*
Aku ingin teman hidupku seperti kamu. Bukan, bukan kamu. Hanya yang sepertimu. Seseorang yang membuatku tak ingat waktu, entah untuk membicarakan hal tentang kehidupan, hal konyol yang dapat membuatku terpingkal, atau mendengarkan lagu favorit bersama. Karena kamu itu menyenangkan tapi terlalu mengada-ada jika aku menginginkan kamu.
Kau tahu itu kan?

-

Surat Untuk Masa Lalu

23:01

Hai masa laluku,

Apa kabar? sudah lama tidak mendengar kabar darimu. Tidak banyak yang terjadi padaku. Tapi aku harap hal yang menyenangkan terjadi padamu. Aku selalu berharap yang terbaik untuk kamu.

Terima kasih karena kamu pernah menjadi bagian dari perjalananku. Tenang saja, aku tak akan melupakanmu. Kamu telah menjadi penguat langkahku. Semua yang pernah aku alami bersamamu begitu membekas dan mampu membentukku menjadi seperti sekarang.

Kamu sedang apa? Bagaimana dengan kuliah yang saat ini sedang kau lanjutkan bersamaan dengan karirmu dan teman-temanmu yang menyenangkan itu? Aku harap mereka masih membuatmu bahagia. Aku rindu tawamu sebelum kita mengenal jarak.

Aku tak tahu kenapa aku menuliskan ini untukmu, aku rasa aku ingin berdamai dan mendewasakan diri. Banyak hal yang belum sempat aku sampaikan dan aku sangat ingin membicarakannya padamu. Tapi bertemu denganmu aku rasa bukan ide yang bagus. Bukan, bukan karena aku benci melihatmu tapi untuk saat ini, lebih baik seperti ini saja.


Salam hangat,
Masa lalumu

-

Suara

21:40

Sabtu kali ini sendu. Aku lebih memilih untuk duduk sendiri di coffee shop ini. Kulihat beberapa pasang kekasih yang berteduh diluar. Ini rutinitasku. Menikmati akhir pekan ditemani secangkir caramel macchiato hangat. Hujan yang tak kunjung henti membuatku enggan untuk bergeser sedikitpun dari tempat dudukku. Tak banyak yang kulakukan. Hanya memandang jalanan, membiarkan lamunanku bertualang keluar. Ah andai saja Mika masih hidup. Ia pasti akan menemaniku disini. Walaupun dia juga akan mencelotehiku tentang banyaknya kopi yang sudah aku minum hari ini. Mika tidak suka kopi.

"Tari?" ucap suara dibelakangku. Cukup membuatku tersentak dan memaksa lamunanku untuk kembali menyatu dengan alam sadarku. Itu suara Langit, kawanku. Suatu kebetulan melihatnya disini. Sudah 3 tahun aku tidak bertemu dengannya.
"Eh, Langit? Hey! It's been a long time!" Ujarku seraya menjabat tangannya. Sudut mataku menangkap pria berkacamata berambut sebahu yang bersamanya. Mirip Mika, tapi kulitnya lebih gelap.

Rupanya Langit dan kawan-kawannya adalah band yang perform malam ini. Mataku tak lepas dari Sena. Ya, pria yang mencuri perhatianku itu namanya Sena. kudengar Langit memanggil namanya sebelum mereka bersiap untuk perform. Tidak ada perkenalan formal antara aku dan kawannya Langit karena mereka sedang diburu waktu.

Aku menyesap kopiku yang tinggal sedikit. Mengalihkan pandanganku kembali ke jalan. Hujannya sudah reda. Aku bersiap pulang, menghindari hujan yang bisa datang lagi kapan saja.

"Sir, I'm a bit nerveous 'bout being here today
still not real sure what i'm going to say"

Sontak aku menoleh kearah Langit dan kawan-kawannya. Sena. Dia yang ada dibalik microphone.

"so bare with me please if I take up too much of your time
see in this box is a ring for your oldest"

Suaranya membuatku terpana. Aku pun akhirnya kembali duduk dan pindah posisi hanya untuk melihat Sena lebih jelas. Aku lihat ia menatapku dan senyuman tipis tersungging di bibirnya. Jantungku mencelos.

Apa kamu pernah dengar istilah cinta pada pandangan pertama? Apa itu juga bisa berlaku untuk cinta pada pendengaran pertama? Terdengar konyol kah?

Aku mengurungkan niatku untuk pulang. Hanya agar dapat mendengar suara itu. Tanpa sadar aku tersenyum dan jantungku berdegup kencang. Aku menikmati lagu demi lagu yang mereka mainkan. Tidak kusangka aku bisa merasakan kupu-kupu terbang diperutku. Ini menyenangkan. Malam makin larut dan mataku masih tak dapat terlepas dari Sena. Sesekali aku mengalihkan pandangan saat Sena melihat kearahku. Langit dan bandnya menutup performance malam itu dengan lagu Aerosmith - I Don't Wanna Miss A Thing  diiringi applause dari penonton.

"Kalian keren mainnya!" Pujiku yang dibalas dengan ucapan terima kasih dari mereka setelah kembali ke meja didekatku. Kulihat Sena bergegas untuk pulang disaat Langit dan kawannya yang lain duduk dan memesan kopi. Agak kecewa memang, karena tujuanku menunggu adalah Sena.

Kuharap aku bisa bertemu dengannya lagi. Aku ingin mendengar suaranya lebih banyak lagi, lebih lama lagi. Suara yang membuatku lupa akan Mika.

-

Kembali

15:58

dua insan berselimut sepi
dipersatukan diantara suara bising pinggir kota
diantara gesekan besi yang berenergi
menghiraukan hiruk pikuk sekitarnya

bersama merajut asa
dengan benang yang terlihat indah berwarna-warni
terhanyut
hingga lupa kala waktu tak pernah berhenti

hantu didalam ragamu muncul
mencabik tiap senti otakku
pun memporak-porandakan organ dalam ronggamu
tak bernyawa

tapi ia masih disitu
memainkan kembali peranannya
memperdaya raga-raga rupawan yang mencandumu
aku sedang tak berselera untuk kau siksa

lebih baik aku kembali
dengan separuh hati yang membiru
kini aku menepi untuk mengusap luka
terduduklah seorang insan berselimut sepi

kembali

-

Siapa Bilang?

20:13

mereka bilang rasa ini salah
mereka bilang aku bebal
mereka bilang kamu bodoh

kamu bilang rasa ini membebanimu
kamu bilang aku berhak bahagia
kamu bilang kamu sudah menghapusku

aku bilang rasa ini yang paling nyata
aku bilang aku tidak ingin menjadi benar
aku bilang kamu ..... ah sudahlah