-

Suara

21:40

Sabtu kali ini sendu. Aku lebih memilih untuk duduk sendiri di coffee shop ini. Kulihat beberapa pasang kekasih yang berteduh diluar. Ini rutinitasku. Menikmati akhir pekan ditemani secangkir caramel macchiato hangat. Hujan yang tak kunjung henti membuatku enggan untuk bergeser sedikitpun dari tempat dudukku. Tak banyak yang kulakukan. Hanya memandang jalanan, membiarkan lamunanku bertualang keluar. Ah andai saja Mika masih hidup. Ia pasti akan menemaniku disini. Walaupun dia juga akan mencelotehiku tentang banyaknya kopi yang sudah aku minum hari ini. Mika tidak suka kopi.

"Tari?" ucap suara dibelakangku. Cukup membuatku tersentak dan memaksa lamunanku untuk kembali menyatu dengan alam sadarku. Itu suara Langit, kawanku. Suatu kebetulan melihatnya disini. Sudah 3 tahun aku tidak bertemu dengannya.
"Eh, Langit? Hey! It's been a long time!" Ujarku seraya menjabat tangannya. Sudut mataku menangkap pria berkacamata berambut sebahu yang bersamanya. Mirip Mika, tapi kulitnya lebih gelap.

Rupanya Langit dan kawan-kawannya adalah band yang perform malam ini. Mataku tak lepas dari Sena. Ya, pria yang mencuri perhatianku itu namanya Sena. kudengar Langit memanggil namanya sebelum mereka bersiap untuk perform. Tidak ada perkenalan formal antara aku dan kawannya Langit karena mereka sedang diburu waktu.

Aku menyesap kopiku yang tinggal sedikit. Mengalihkan pandanganku kembali ke jalan. Hujannya sudah reda. Aku bersiap pulang, menghindari hujan yang bisa datang lagi kapan saja.

"Sir, I'm a bit nerveous 'bout being here today
still not real sure what i'm going to say"

Sontak aku menoleh kearah Langit dan kawan-kawannya. Sena. Dia yang ada dibalik microphone.

"so bare with me please if I take up too much of your time
see in this box is a ring for your oldest"

Suaranya membuatku terpana. Aku pun akhirnya kembali duduk dan pindah posisi hanya untuk melihat Sena lebih jelas. Aku lihat ia menatapku dan senyuman tipis tersungging di bibirnya. Jantungku mencelos.

Apa kamu pernah dengar istilah cinta pada pandangan pertama? Apa itu juga bisa berlaku untuk cinta pada pendengaran pertama? Terdengar konyol kah?

Aku mengurungkan niatku untuk pulang. Hanya agar dapat mendengar suara itu. Tanpa sadar aku tersenyum dan jantungku berdegup kencang. Aku menikmati lagu demi lagu yang mereka mainkan. Tidak kusangka aku bisa merasakan kupu-kupu terbang diperutku. Ini menyenangkan. Malam makin larut dan mataku masih tak dapat terlepas dari Sena. Sesekali aku mengalihkan pandangan saat Sena melihat kearahku. Langit dan bandnya menutup performance malam itu dengan lagu Aerosmith - I Don't Wanna Miss A Thing  diiringi applause dari penonton.

"Kalian keren mainnya!" Pujiku yang dibalas dengan ucapan terima kasih dari mereka setelah kembali ke meja didekatku. Kulihat Sena bergegas untuk pulang disaat Langit dan kawannya yang lain duduk dan memesan kopi. Agak kecewa memang, karena tujuanku menunggu adalah Sena.

Kuharap aku bisa bertemu dengannya lagi. Aku ingin mendengar suaranya lebih banyak lagi, lebih lama lagi. Suara yang membuatku lupa akan Mika.

-

Unconditional Love

23:00

Ego dalam diri pernah bilang "cinta itu harus memiliki". Kata-kata semacam itu terpatri dibenakku sejak aku mengenal yang namanya cinta monyet. Melakukan hal-hal konyol untuk mendapatkan "cinta".

Sebetulnya aku sendiri
(bisa dibilang) tidak percaya cinta. Kata kerja itu tidak pernah benar-benar terasa nyata di kehidupanku. 
Aku ingat, waktu itu aku pernah berucap "cinta itu omong kosong. Hanya ada suka dan sayang. Sudah. Tidak ada tingkatan yang lebih tinggi dari sayang."

Para remaja yang baru belajar memiliki kekasih pun punya pendapat, "cinta itu tanpa alasan." Tapi saat ditanya "kenapa?", Mereka berlomba-lomba menyombongkan alasan mereka memilih kekasih hati masing-masing.
"Kekasihku tampan."
"Oh, dia pandai."
Bukankah itu juga termasuk alasan?

Kedekatanku pada seseorang akhirnya membuatku sadar. Cinta itu ada dan membutuhkan proses. Tidak muncul begitu saja dalam hitungan detik seperti cinta pada pandangan pertama di serial drama picisan. Aku sempat mengelak, membangun tembok diantara aku dan dia. Tapi terlambat. Aku jatuh cinta.
"Kenapa?"
Seketika aku terdiam saat salah seorang sahabatku menanyakan kenapa aku jatuh cinta. Tenggorokanku serasa tercekat, tidak bisa mengucap sepatah kata pun. Sampai saat ini pun aku tidak dapat menemukan jawabannya.

Dewi fortuna berpihak padaku. Ya, cintaku tidak bertepuk sebelah tangan. Aku diajak melayang tinggi dan kemudian dihempaskan kembali ke bumi oleh sang Cupid.
"Aku dan kamu itu beda"
Pernyataan yang terlontar dari bibirnya seakan menamparku. Memaksaku bangun dari kenyataan. Aku dan dia tidak akan pernah menjadi kita.

Dia lebih buruk dari narkotika dan zat-zat adiktif lainnya. Begitu candu. Besar keinginan untuk berhenti tapi kenyataannya keinginan untuk bertahan jauh lebih besar dari itu. Seperti para pemakai narkotika yang dijerat tanpa ampun oleh zat-zat terlarang tersebut.

Dia membuatku memahami apa artinya cinta. Cinta yang semakin lama semakin besar dan aku tidak tau kapan harus berhenti disaat dirinya sendiri memutuskan untuk menghapus perasaannya padaku. Menyakitkan? Sedikit. Tapi aku bahagia. Ya, mencintainya membuatku bahagia. Sampai detik ini pun aku tersenyum simpul, melupakan kenyataan bahwa perlahan dia menjauh dan membiarkan dia berlari di pikiranku.

Mungkin aku hanya bisa menunggu. Menunggu dia menjadi kebahagiaan sejatiku. Atau menunggu dia menemukan kebahagiaan sejatinya.

catatan kecil dariku.
yang masih memiliki rasa itu.

amarah

Acuhkan Saja

23:32

ada sesuatu yang membuatku kembali terdampar disini. terlalu banyak hal terlewat. berbagai macam hal. tetapi ada satu hal yang sepertinya sudah menjadi hal yang lumrah bagiku.

diacuhkan.

bahkan kedua tangan inipun tidak mampu menjelaskan berapa kali aku diacuhkan.
kamu, kalian, mereka.
apakah mungkin semua berkomplot, membentuk sebuah kubu untuk mengacuhkanku?
haha. terdengar berlebihan memang.
tetapi bukan itu yang mengganggu pikiranku.
mungkin mereka berbuat seperti itu karena aku terlalu lemah.
atau mungkin hal itu terlalu adiktif?

aku rapuh.
mereka yang mengacuhkanku tanpa sebab hampir semua berakhir dengan rayuan agar mereka berhenti melakukan itu padaku. aku mengalah. ada yang lebih gila lagi jika aku merasa rayuanku tidaklah cukup. permintaan maaf yang membesarkan ego mereka. permintaan maaf dari seseorang yang tidak tau atau bahkan memang tidak melakukan kesalahan apapun.
bukankah itu adiktif?

aku menyerah.
batu yang keraspun jika berkali-kali ditetesi air akan berlubang juga.
apalagi hati.
aku mohon, stop. bisa?

aku tega.
bagiku, orang yang memperlakukanku dengan tidak baik pun perlu merasakan hal yang sama. aku bisa lebih tega dari mereka. setahun pun aku sanggup hidup tanpa mereka.

aku sensitif.
kedua tanganku memang tidak sanggup menghitung berapa kali aku diacuhkan, tapi masih sanggup untuk menutup kedua telingaku dari perkataan-perkataan tajam yang mungkin saja mereka lontarkan.
begitu juga dengan kedua mataku yang masih sanggup mencegahku melihat kenyataan yang terjadi didepanku.

aku belajar,
mengalah boleh.
terlalu sering mengalah dan meminta maaf tanpa tau letak kesalahanku bisa menjadi bumerang.
semacam memberi pembenaran pada kebiasaan yang sebenernya tidak baik.

postinganku kali ini, juga boleh kamu acuhkan :)

"coba kamu pecahkan piring indah dari porselen itu" // "kamu gila. piring ini terlalu berharga" 
"pecahkan saja" // "ya, sudah kupecahkan. lalu?" 
"minta maaf pada piring itu." // "maaf.." 
"apakah piring indah itu masih bisa berfungsi?" // "tidak.. tapi bisa kuperbaiki agar berfungsi kembali" 
"silahkan kau perbaiki. dengan cara apapun yang kamu suka. tapi, apakah piring itu akan kembali indah seperti sedia kala?" // "tidak..." 
"begitu juga dengan hatiku."

once in a lifetime

Too Many Options

16:51

manusia tidak akan pernah puas.
kenapa?
se-egois itukah?
saya rasa tidak.

mungkin karena terlalu banyak pilihan.
jangankan terlalu banyak,
dihadapkan oleh dua pilihan pun begitu.